Puisi-Puisi Terbaik Muharam Fair
Biarkan Aku
Bernegosiasi
Bilamana
maut mengetuk
Hendak
permisi
mengambil
Bundaku yang uzur berturut-turut
Kan
kuberi senyumku yang paling kecut
dan
kusuguhi rujak terpedas
Agar dia berlari ke syurga
mencari air untuk diteguk.
Agar dia berlari ke syurga
mencari air untuk diteguk.
Biar
aku tanyakan dulu
KepadaNya
Yang Maha Lembut
sesakit apa pencabutan maut.
Biar aku tanyakan dulu
KepadaNya Yang Maha Besar
seperti apa di alam Mahsyar.
Tolong tunggu aku sebentar, wahai Malaikal Maut.
Biarkan aku bernegosiasi denganNya
Memberi jaminan-jaminan kelayakan
agar Bundaku tak menderita kemudian
Bundaku manusia ikhlas tiada berbalas
Yang lelah mengandung sembilan bulan
Mengalirkan kasih sayang tanpa perhitungan
Meringkas matahari demi mempertahankan kehidupan
Dan meringkas bulan demi menghamba kepada Yang Maha Menciptakan
sesakit apa pencabutan maut.
Biar aku tanyakan dulu
KepadaNya Yang Maha Besar
seperti apa di alam Mahsyar.
Tolong tunggu aku sebentar, wahai Malaikal Maut.
Biarkan aku bernegosiasi denganNya
Memberi jaminan-jaminan kelayakan
agar Bundaku tak menderita kemudian
Bundaku manusia ikhlas tiada berbalas
Yang lelah mengandung sembilan bulan
Mengalirkan kasih sayang tanpa perhitungan
Meringkas matahari demi mempertahankan kehidupan
Dan meringkas bulan demi menghamba kepada Yang Maha Menciptakan
Bundaku
rela kedinginan, dan biarkan aku tidur dalam kehangatan
Bundaku rela kelaparan, dan biarkan aku kenyang agar dapat arungi lautan
Bundaku rela bertahan dalam bedeng bilik yang tembus cahaya bulan,
agar kelak aku berpendidikan dan mendirikan bangunan yang mencakar langitan
Bundaku tak pernah bosan, mengajarkanku untuk setia kepada Sang Pemilik alam
Bundaku, bundaku, bundaku, kebaikan yang takkan habis kuceritakan.
Dan padamu, wahai Malaikal Maut
Negosiasiku belum selesai
Biar aku pastikan dulu
Bundaku tak akan sedikitpun melihat Jahnnam.
Bundaku rela kelaparan, dan biarkan aku kenyang agar dapat arungi lautan
Bundaku rela bertahan dalam bedeng bilik yang tembus cahaya bulan,
agar kelak aku berpendidikan dan mendirikan bangunan yang mencakar langitan
Bundaku tak pernah bosan, mengajarkanku untuk setia kepada Sang Pemilik alam
Bundaku, bundaku, bundaku, kebaikan yang takkan habis kuceritakan.
Dan padamu, wahai Malaikal Maut
Negosiasiku belum selesai
Biar aku pastikan dulu
Bundaku tak akan sedikitpun melihat Jahnnam.
Kawali,
29 November 2011
Annisa Nur Azizah
Annisa Nur Azizah
Kupanggil Dia Itu Aku
Gesit Idola Kartika
Terbuka jiwa itu dalam tatapan berkelopak
Jatuhkan tiap butir-butir mutiara
Berharga…
Rengkuh rusuk-rusuk tak bersendi
Lihat sosoknya tegar.!!
Menengadah dalam sayup-sayup bumi
Dalam hitam
Dalam pekat
Dalam kelam
Lilitan kain putih berurai debu
Hanya beralaskan tekukan lutut
Itu rapuh…
DIA tersenyum
Saksikannya bermonolog
Tahukah DIA?? Ia berdialog!
Untuk aku,
Karena darahnya itu aku
Kupanggil dia itu aku
THALHAH
Oleh : Regina Yulianti
Di Perang Uhud
Tombak
Pedang
Panah
Menyerpih tubuhmu
Jalanmu pincang
Jarimu hilang
Tubuhmu berlumuran luka
perang
Namun
Wajahmu. Tersenyum malu
Meneteskan air mata
Mengharu biru
Bening pipimu
Thalhah ibn 'Ubaidillah
Kau pahlawan sejati
Perwira tinggi
Berani mengorbankan diri
Untuk sang pujaan hati
Kau Syuhada di muka bumi
2011
No comments