Oleh Prito Windiarto:
Bismillahirrahmanirrahim
Apa yang dituliskan semoga tercatat sebagai tahaduts binni’mah. Tasyakur.
Sedari kecil Alhamdulillah saya termasuk yang suka membaca, mulai dari serial Wiro Sableng, sampai buku diktat kuliah bapak yang kadang tidak begitu bisa dipahai, heu. Itu bisa dimaklumi mengingat buku bacaan yang terbatas. Kesukaan itu berlanjut hingga masa remaja, termasuk ketika masuk Darul Huda (DH). Di DH inilah pertama kalinya saya memiliki sebuah diary. Diary kecil berupa buku nota.
Saya menulis diary kala itu sebagai ajang curahan hati. Ini sebab ada beberapa hal yang sangat riskan jika diceritakan pada yang orang lain. Sampai detik itu belum ada niat menjadi ‘penulis’.
Hingga suatu saat saya menemukan sebuah majalah tanpa cover tergeletak di bangku pondok. Iseng kubaca dan langsung tertarik. Itulah perkenalan pertama dengan majalah Annida. Setelah diselidiki ternyata itu majalah milik ustadz Sofwan. Saya pinjam majalah tersebut agar lebih leluasa membaca.
Hal yang menarik dari majalah Annida adalah bahasanya yang nge-remaja. Pembaca seakan diajak memasuki dunia remaja yang penuh makna. Bukan sekedar tulisan yang hampa. Paling suka membaca cerpen-cerpen Annida. Selain cerita apik banyak hikmah yang bisa dipetik. Saya yang sedari dulu suka membaca cerita semakin cinta membaca berkat Annida. Rublik lain juga tak kalah keren, puisi-puisi yang indah. Rublik konsultasi agama, kepenulisan, dll. Akhirnya saya memutuskan ikut berlangganan setiap bulan.
Secara tidak langsung, ketika membaca tulisan yang apik sering terlintas di benak. “Bisakah saya bisa menulis seperti itu?” “Mungkinkah tulisan saya dimuat di media ini?” “Bisakah saya menjadi penulis?” Kala itu saya hanya bisa berucap dalam hati, ‘InsyaAllah, semoga bisa suatu saat nanti.”
Waktu berlibas cepat, kehadiran majalah Annida selalu dinanti setiap bulan. Annida pernah mengadakan polling berhadiah. Saya ikut serta mengirimkan polling. Tak dinyana. Alhamdulillah, saya mendapat hadiah, sebuah tas dan sandal. Yang lebih menyenangkan, nama saya terpampang di lembaran Annida. Ya walau hanya sebaris di daftar nama pemenang polling, senangnya minta ampun. Hehe.
Sayang, keberjalan itu musti berakhir. Annida memutuskan menghentikan edisi cetak dan beralih ke edisi online. Salah satu pertimbangannya demi menghemat kertas dan menyongsong era digital. Ketika itu saya agak kecewa atas peralihan itu, bagaimanapun ketika mondok, kami jauh dari akses internet. Tapi tak apalah, suatu saat saya akan bertemu Annida lagi, begitu keyakinan di hati.
Benar saja, akhirnya selepas lulus dari DH, di warnet saya mencari Annida, dan ketemu. Keinginan untuk “tampil” di Annida kembali menyeruak. “Bismillah, saya ingin tulisan saya dimuat!” Tekad dalam hati, akhir tahun 2009. Cerpen “Padang Ilalang Yang Hilang” dikirimkan, menyusul cerpen dan puisi berikutnya. Sayang, tak pernah ada satupun yang dimuat. Lebih dari 5 kali kirim dan belum dimuat saya semapat putus asa. Annida –walaupun versi online- tetaplah mengutamakan kualitas. Tak sembarang tulisan yang dimuat. Ups… Berarti tulisan saya belum layak.
Hmmm… pada akhirnya, karena merasa kemampuan masih dibawah “level kualitas” Annida saya memutuskan tak mengirimkan karya ke Annida. (Puasa mengirim karya istilahnya, hehe). Saya kemudian beralih ke media lainnya. Namun bagaimanapun saya berjanji suatu saat nanti akan kembali “menyerbu Annida”.
Saya punya prinsip –Gara-gara Annida lah dulu saya punya keinginan menjadi penulis. Karenanya belum afdol rasanya jika belum pernah tembus Annida.”
Pertengahan 2011 saya mengakhiri “puasa” mengirim karya ke Annida ditandai dengan kiriman cerpen “3 ASMARA”. Namun apa yang terjadi? Lagi-lagi ditolak, kali ini dengan beberapa catatan perbaikan. Cukup membuat down juga kritikan dari Annida. But… setelah direnungkan lama. Ternyata kritikan tersebut membangun. Selepas itu, saya kembali “puasa”.
Akhirnya, di ujung Januari, saya revisi cepen “3 ASMARA” sehingga lahirlah cerpen “Trio ASMARA”. Kali itu saya mengirim cerpen tanpa banyak harap. Apapun yang terjadi.
Ternyata…
Kabar baik datang. Alhamdulillah. Cerpen itu dimuat. Entah apa alasan pastinya, bisa jadi, mungkin saja, karena redakturnya kasihan karena tulisan Prito tidak dimuat-muat. Hehe.
Yang pasti, bersyukur sekali. Alhamdulillah. Terima kasih Annida. Kau menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah hidupku. he
Overall. Ini semakin menyakinkan saya untuk terus berani bermimpi, dan pantang menyerah demi menggapainya. Sedikit demi sedikit, perlahan, sambil terus belajar, berusaha, berdoa, dan esok lusa atas kehendakNya impian itu kan tergapai. InsyaAllah.
Saatnya menggapai impian selanjutnya.
Saya kemabali mengajak, mari bermimpi, bercita penuh asa.
“Bermimpilah, Karena Tuhan Kan Memeluk mimpimu itu.” *Andrea hirata.
“Bermipilah, Karena Allah Sungguh Maha Mendengar.” *A. Fuadi.
“Bermimpilah. Karena suatu saat kau akan berkata, Alhamdulillah, terima kasih ya Allah mimpi ini tergenapkan. *Aris Ahmad jaya
“Bermimpilah, dan semesta akan mendukungmu.” Paulo Coelho – Yohanes Surya.
-Ya Allah, Alhamdulillah segala puji untukmu yang telah mengabulkan doa, menggenapkan cita hambaMu yang yakin akan janjiMu.”
Terakhir, sebagai penutup, izinkan untuk menghadirkan beberapa puisi, yang dimuat di Majalah Sabili Edisi Desember 2012. Semoga menjadi inspirasi untuk diri pribadi dan yang berkenan menerimanya.
Terimakasih berkenan membaca. Salah hangat.
Tasbih Samudra
Prito Windiarto*
KuasaMu meliputi selaksa
Hatta tetes air samudera
Tak terhingga karunia
Hangat mentari
Debur angin pantai
Buih ombak
Membentuk tasbih
Mengalun sepanjang masa
Tanpa henti
Hingga tarikan janji
Tasbih Samudra mengukung mesra
Pantai timur Pangandaran 270612
Juta Kubik
Prito Windiarto*
Beradu gelombang
Ritme beriring-berulang
Kalaulah bukan kuasa Sang Maha
Niscaya takkan berupa
Nahasnya, kita kadang dusta
Mendua, mentiga Sang Kuasa
Berbangga atas apa
Yang sejatinya
Secuil saja
Jutaan kubik sempurna
Menabrak karang-karang
***
Pantai Timur Pangandaran, 010712
No comments