Kabar LDK

Artikel LDK

Catatan eLDeKa

Catatan Murobbi

Katagori Pilihan

galeri LDK

Ramadhan H-14


Kunci Hidup Tenang dan Tentram


Kunci hidup tenang dan tentram ala Ust. Umung Anwar Sanusi, L.c



1. mulailah dengan bismillah
2. syukur
3. berfikir positif
4. berorientasi akhirat
5. berfikir dan berdo'a
6. bercermin
7. komitmen dan istiqomah

Adakah Agama Selain Islam?


Oleh: Fauzil Adhim

Suatu ketika seorang guru bertanya setengah mengeluh. Ia sudah berusaha menjadi guru yang baik dan senantiasa melindungi aqidah anaknya agar tak terkotori oleh hal-hal yang merusak. Kepada murid-murid­nya –sebagaimana kepada anaknya sendiri—ia selalu menunjukkan bahwa di dunia ini hanya ada satu agama. Kebetulan ia menjadi kepala sekolah, sehingga "idealismenya" bisa diwujud­kan lebih leluasa. Setiap kali ada hari libur keagamaan non Islam, sekolah tetap masuk dan guru tidak boleh menginformasikan yang sesungguhnya. Guru hanya boleh menginformasi­kan kepada murid dengan satu ungkapan: "hari libur nasional". Apa pun liburnya!

Sungguh, sebuah usaha yang serius!

Hasilnya, anak-anak tidak mengenal perbedaan semenjak awal. Dan inilah awal persoalan itu. Suatu ketika anaknya bertemu dengan anak rekannya yang non muslim. Begitu tahu anak itu bukan muslim, anaknya segera bertindak agresif. Anaknya menyerang dengan kata-kata yang tidak patut sehingga anak rekannya menangis. Peristiwa ini menyebabkan ia merasa risau, apa betul sikap anaknya yang seperti itu.

Tetapi ini belum seberapa. Ada peristiwa lain yang lebih memilukan. Saya tidak tahu apa yang selama ini ia ajarkan kepada murid-muridnya di sekolah. Tapi suatu hari salah seorang muridnya mengalami peristiwa "mencengangkan". Ia berjumpa seorang non muslim, yang akhlaknya yang sangat baik. Sesuatu yang tak pernah terduga sebelumnya, sehingga menimbulkan kesan mendalam bahwa ada agama selain Islam dan agama itu baik karena orangnya sangat baik.

Apa yang bisa kita petik dari kejadian ini? Semangat saja tidak cukup. Mendidik tanpa semangat memang membuat ucapan-ucapan kita kering tanpa makna. Tetapi keinginan besar menjaga aqidah anak tanpa memahami bagaimana seharusnya melakukan tarbiyah, jus­tru bisa membahayakan. Alih-alih menumbuhkan kecintaan pada agama, justru membuat a­nak terperangah ketika mendapati pengalaman yang berbeda. Beruntung kalau anak mengkomunikasikan, kita bisa meluruskan segera. Kalau tidak? Kekeliruan berpikir itu bisa terbawa ke masa-masa berikutnya hingga ia dewasa.Na'udzubillahi min dzaalik.


Hanya Islam yang Allah Ridhai

Apa yang harus kita lakukan agar anak-anak bangga dengan agamanya sehingga ia akan belajar meyakini dengan sungguh-sungguh? Tunjukkan kepadanya kesempurnaan aga­ma ini. Yakinkan kepada mereka bahwa inilah agama yang paling benar melalui pembukti­an yang cerdas. Sesudah melakukan pembuktian, kita ajarkan kepada mereka untuk percaya pada yang ghaib dan menggerakkan jiwa mereka untuk berbuat baik. Hanya dengan meya­kini bahwa agamanya yang benar, mereka akan belajar bertoleransi secara tepat terhadap pe­meluk agama lain. Tentang ini, silakan baca kembali kolom parenting bertajuk Ajarkan Jihad Sejak Dini yang saya tulis di buku Positive Parenting.

Ajarkan dengan penuh percaya diri firman Allah Ta'ala yang terakhir dalam urusan 'aqidah:

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم واخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembe­lih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharam­kan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telahKusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telahKu-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa senga­ja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Maa'idah, 5: 3).

Melalui penjelasan yang terang dan mantap, anak mengetahui bahwa agama di dunia ini banyak jumlahnya, tetapi hanya satu yang Allah Ta'ala ridhai. Baik orangtua maupun guru perlu menunjukkan kepada anak sejarah agama-agama sehingga anak bisa memahami meng­apa hanya Islam yang layak diyakini dan tidak ada keraguan di dalamnya. Jika anak tidak memahami proses terjadinya penyimpangan agama-agama di dunia, mereka dapat mengalami kebingungan mengapa hanya Islam yang Allah ridhai. Pada gilirannya, ini bisa menggiring anak-anak untuk secara pelahan menganggap semua agama benar. Apalagi jika orangtua atau guru salah menerjemahkan. Beberapa kali saya mendengar penjelasan yang mengatakan Islam sebagai agama yang paling diridhai Allah. Maksudnya baik, ingin menunjukkan bahwa Islam yang paling sempurna, tetapi berbahaya bagi persepsi dan pemahaman anak. Jika Islam yang paling diridhai Allah, maka ada agama lain yang diridhai dengan tingkat keridhaan yang berbeda-beda. Ini efek yang bisa muncul pada persepsi anak.

Kita perlu memperlihatkan pluralitas pada anak bahwa memang banyak agama di dunia ini, sehingga kita bisa menunjukkan betapa sempurnanya Islam. Mereka menerima pluralitas (kemajemukan) agama dan bersikap secara tepat sebagaimana tuntunan Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Tetapi bukan pluralisme yang memandang semua agama sama.


Berislam dengan Bangga

Setelah anak meyakini bahwa Islam agama yang sempurna dan satu-satunya yang diridhai oleh Allah'Azza wa Jalla, kita perlu menguatkan mereka dengan beberapa hal. Pertama, kita bangkitkan kebanggaan menjadi muslim di dada mereka. Semenjak awal kita tumbuhkan kepercayaan diri yang kuat dan harga diri sebagai seorang muslim, sehingga mereka memi­liki kebanggaan yang besar terhadap agamanya. Mereka berani menunjukkan identitasnya sebagai seorang muslim dengan penuh percaya diri, "Isyhadu bi anna muslimun. Saksikanlah bahwa aku seorang muslim!"

Mereka berani menunjukkan keislamannya dengan penuh rasa bangga. Tidak takut dicela. Tidak khawatir direndahkan.

Kedua, kita biasakan mereka untuk memperlihatkan identitasnya sebagai muslim, baik yang bersifat fisik, mental dan cara berpikir. Inilah yang sekarang ini rasanya perlu kita gali lebih jauh dari khazanah Islam; bukan untuk menemukan sesuatu yang baru, tetapi untuk menemukan apa yang sudah pada generasi terdahulu yang berasal dari didikan Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam dan sekarang nyaris tak kita temukan pada sosok kaum muslimin di zaman ini.

Ketiga, kita bangkitkan pada diri mereka al-wala' wal bara' sehingga memperkuat per­caya diri mereka. Apabila mereka berjalan, ajarkanlah untuk tidak menepi dan menyingkir karena grogi hanya karena berpapasan dengan orang-orang kafir yang sedang berjalan dari arah lain. Kita tidak bersikap arogan. Kita hanya menunjukkan percaya diri kita, sehingga tidak menyingkir karena gemetar.

Sikap ini sangat perlu kita tumbuhkan agar kelak mereka sanggup bersikap tegas terhadap orang-orang kafir dan lembut terhadap orang-orang yang beriman. Ingatlah ketika Allah Ta'ala berfirman:

يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه أذلة على المؤمنين أعزة على الكافرين يجاهدون في سبيل الله ولا يخافون لومة لآئم ذلك فضل الله يؤتيه من يشاء والله واسع عليم

"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun men­cintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Maa'idah, 5: 54).

Nah.


Berislam dengan Ihsan

Jika percaya diri sudah tumbuh, kita ajarkan kepada mereka sikap ihsan. Kita tunjukkan kepada anak-anak itu bagaimana seorang mukmin dapat dilihat dari kemuliaan akhlak dan lembutnya sikap. Ada saat untuk tegas, ada saat untuk bersikap menyejukkan. Bukan un­tuk menyenangkan hati orang-orang kafir dikarenakan hati yang lemah dan diri yang tak ber­daya, tetapi karena memuliakan tuntunan Allah dan rasul-Nya. Bukankah Rasulullah shalla­Llahu 'alaihi wa sallam berdiri menghormat ketika jenazah orang kafir diantar ke tanah peku­buran? Bukankah Shalahuddin Al-Ayyubi, salah seorang panglima yang disegani dalam se­jarah Islam, memperlakukan musuh-musuhnya dengan baik dan penuh kasih-sayang ketika musuh sudah tidak berdaya?

Pada saatnya, kita ajarkan kepada mereka untuk menghormati hak-hak tetangga, muslim maupun kafir. Kita tunjukkan kepada mereka hak-hak tetangga beserta prioritasnya, mana yang harus didahulukan. Ada tetangga yang dekat pintunya dengan rumah kita, ada pula yang jauh; ada tetangga yang masih memiliki hubungan keluarga, ada pula yang orang lain sama sekali; serta ada tetangga muslim, ada pula yang kafir. Masing-masing memiliki hak yang berbeda-beda.


Dorongan untuk Berdakwah

Ada anak yang menjadi sumber pengaruh, ada yang lebih sering terpengaruh. Anak-anak yang mengarahkan teman-temannya dan menjadi inspirasi bagi dalam berbuat, baik negatif maupun positif, ditandai dengan karakter yang kuat dan menonjol. Umumnya anak-anak yang menjadi sumber pengaruh lebih sedikit jumlahnya. Mereka biasanya bersikap proaktif dalam berpendapat, selalu berusaha meyakinkan temannya, berbicara dengan mantap serta memiliki percaya diri yang tinggi.

Agar anak-anak itu memiliki percaya diri yang lebih kuat lagi sebagai seorang muslim, kita perlu tanamkan dorongan untuk menyampaikan kebenaran serta mengajak orang lain pada kebenaran. Ini sangat penting untuk menjaga anak dari kebingungan terhadap masalah keimanan dan syari'at. Tidak jarang anak mempertanyakan, bahkan mengenai sesama muslim yang tidak melaksanakan sebagai syari'at Islam. Misalnya mengapa ada yang tidak pakai jilbab.

Melalui dorongan agar mereka menjadi penyampai kebenaran, insya-Allah kebingung­an itu hilang dan berubah menjadi kemantapan serta percaya diri yang tinggi. Pada diri me­reka ada semacam perasaan bahwa ada tugas untuk mengingatkan dan menyelamatkan. Ini sangat berpengaruh terhadap citra dirinya kelak, dan pada gilirannya mempengaruhi konsep diri, penerimaan diri, percaya diri dan orientasi hidup.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Bincang Sederhana tentang Ikhlas


Oleh Mohammad Fauzil Adhim 


Rasulullah saw. ajarkan kepada kita untuk berdo'a dengan ungkapan:

"اَللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئاً نَعْلَمُهُ وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُ" (HR. Ahmad). 

"Ya, Allah. Sesungguhya kami berlindung kepadaMu agar tidak menyekutukanMu dengan sesuatu yang kami ketahui. Dan kami memohon ampun kepadaMu dari sesuatu yang kami tidak mengetahuinya." (HR. Ahmad & imam hadits lainnya).

Nabi Saw. mengingatkan kita: 

"Sesungguhnya Allah Swt. tidak melihat bentuk kamu dan harta kamu, tetapi Dia melihat hati kamu dan amal kamu." (HR. Muslim).

Nabi saw. bersabda: 

" إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ"

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas & dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah."

Yahya bin Abi Katsir mengingatkan, "Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal."

Maka, apakah kita abaikan ikhlasnya niat? Sesungguhnya sedekah tidak menjadikan ikhlas jika kita tidak meniati dengan sungguh-sungguh dan terus-menerus memperbaiki niat kita agar ikhlas ketika bersedekah. Andaikata sedekah yang banyak dengan sendirinya mendatangkan keikhlasan, maka tak ada ahli sedekah yang menjadi bahan bakar api neraka disebabkan tidak ikhlas saat bersedekah (periksa Shahih Muslim bab al-Jihad).

Khawatiri olehmu banyaknya amal shalih, tapi tidak bernilai sama sekali di hadapan Allah Ta'ala. Kita banyak beramal, tapi nilai amal kita di hadapan Allah 'Azza wa Jalla tidak melebihi bobot sehelai sayap lalat atau nyamuk.

Dengarkan kata Sufyan Ats-Tsauri, "Tidak pernah aku memperbaiki sesuatu yang lebih berat bagiku daripada niatku, karena niat selalu berubah-ubah."

Seseorang yang telah sering beramal secara ikhlas pun dapat rusak keikhlasannya. Maka apakah kita akan sengaja mengabaikan & meremehkannya? Sedekah yang dikeluarkan seseorang TIDAK AKAN PERNAH menjadikannya ikhlas jika ia mengabaikan keikhlasan. Lebih-lebih sengaja meremehkannya.

Jika 'alim besar sekelas Sufyan Ats-Tsauri saja harus memperjuangkan keikhlasan, maka sebaik apakah kita sehingga meremehkan keikhlasan? Sangat berbeda orang yang bersungguh-sungguh berlatih & berjuang agar ikhlas dengan tetap beramal shalih dengan mereka yang mengabaikannya. Dan yang paling buruk adalah mereka yang sengaja menyerukan kepada manusia untuk mengabaikan keikhlasan. 

Mengkhawatiri hilangnya keikhlasan bukanlah dengan meninggalkan amal, tetapi dengan berjuang SECARA SENGAJA untuk membaguskan niat. Jika kita bersungguh-sungguh mengerjakan amal shalih, mengilmui & perbaiki niat, semoga Allah Ta'ala ampuni yang TERlalaikn dalam niat itu. 

Khawatiri olehmu memudahkan-mudahkan ikhlas & memandangnya sebagai perkara sederhana. Sesungguhnya kelak kita dikumpulkan sesuai niat. Ingatlah ketika Rasulullah saw. bersabda: 

"يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى نِيَّاتهِمْ " (HR. Ibnu Majah). 

"Sesungguhnya manusia dikumpulkan (di Padang Mahsyar) berdasarkan niat-niat mereka." (HR. Ibnu Majah).

Ibnul Mubarak mengingatkan, "Betapa banyak amal yang kecil mnjadi bernilai besar karena niat & betapa banyak amalan besar yang menjadi bernilai kecil karena niat."

http://salinantulisanfauziladhim.blogspot.com/2012/03/bincang-sederhana-tentang-ikhlas.html

Meraih Barakah Keluarga


Oleh Mohammad Fauzil Adhim


Bukan harta yang menyebabkan duka atau bahagia, tetapi jiwa kita. Bukan sempat yang menyebabkan kita mampu menjalin hubungan yang lebih erat dengan istri atau suami kita, tetapi selarasnya kondisi ruhiyah kita. Sebab sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam, ruh itu seperti pasukan. Mereka akan mudah bersatu dan cenderung mendekat dengan yang serupa. Sebaliknya akan mudah berselisih, meski senyum masih mengembang di wajah mereka. Hati gelisah, jiwa resah, ketenangan tak lagi kita rasakan dan pelahan-pelahan kita mulai mengalami kehampaan jiwa. Ketika itu terjadi, banyak hal tak terduga yang bisa muncul. Kita bisa mencari "jalan keluar" yang justru semakin menjauhkan satu sama lain, meski masih tinggal serumah, masih sama-sama aktif di kegiatan dakwah yang sama.

Maka ada yang perlu kita perhatikan. Bukan hanya bagaimana cara berkomunikasi efektif antara suami-isteri; bukan pula semata soal bagaimana kita memberi perintah yang menggugah kepada anak-anak kita. Lebih dari itu, ada yang perlu kita periksa, adakah ruh kita saling bersesuaian satu sama lain ataukah justru sebaliknya saling berseberangan. Boleh jadi kita bertekun-tekun dan saling melakukan kegiatan yang sama-sama penuh kebaikan, tetapi niat yang mengantarkan dan mengiringi berbeda, maka yang kita dapatkan pun akan berbeda. Sesungguhnya tia-tiap kita akan memperoleh sesuatu niat yang menggerakkan kita melakukan sesuatu.

Sama kegiatan yang kita lakukan, beda niat yang senantiasa menyertai, akan membawa kondisi ruhiyah kita pada keadaan yang berbeda. Itu sebabnya, meski sama-sama bertekun dengan kebaikan yang sama, keduanya dapat menuju tataran ruhiyah yang berbeda atau bahkan saling berseberangan.

Sesungguhnya tiap amal atau ibadah yang kita kerjakan, meski cara sama-sama benar sesuai yang digariskan, niat melakukannya dapat termasuk:

1. Ikhlas karena Allah & Hanya Berharap Ridha Allah
2. Ikhlas karena Allah, tapi Tujuannya Dunia (Syirik Niat)
3. Tidak Ikhlas
• Riya' dan Tidak Mencari Dunia
• Riya' dan Mengharap Dunia dari Amalnya
4. Tidak karena Allah, Tidak untuk Akhirat, Tidak Pula untuk Dunia

Hanya niat ikhlas karena Allah 'Azza wa Jalla dan akhirat tujuannya yang dapat menjadikan hidup kita dan keluarga kita penuh barakah. Maka agar rumah-tangga berlimpah barakah, suami-isteri perlu saling mengingatkan untuk senantiasa meluruskan niat dan menjaga amalnya dari cara-cara yang bertentangan dengan tuntunan dienul Islam.

Inilah yang perlu kita renungi. Inilah yang perlu kita telisik dalam diri kita dan keluarga kita. Jika apa yang sepatutnya kita kerjakan telah kita penuhi, jika komunikasi sudah kita jalin dengan baik, teapi hati kita gersang meski tak ada perselisihan, maka inilah saatnya kita menelisik niat dan orientasi kita dalam beribadah, beramal dan menjalani kehidupan rumah-tangga.

Mari kita ingat sejenak ketika Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS. Al-An'aam, 6: 162-163).

Tidak mungkin hidup kita –termasuk keluarga kita—hanya untuk Allah Ta'ala jika shalat dan ibadah kita saja bukan untuk Allah 'Azza wa Jalla.

Sesudahnya, kita perlu periksa rezeki yang kita dapatkan, adakah ia penuh barakah atau justru sebaliknya tak ada barakah sedikit pun di dalamnya? Atas setiap rezeki yang barakah, bertambahnya membawa kebaikan yang semakin besar, dan berkurangnya tidak menciutkan kebaikan. Mungkin mata kita melihatnya berat, tapi ada ketenangan dan kebahagiaan pada diri mereka, meski mereka nyaris tak pernah bersenang-senang. Sebaliknya jika rezeki tak barakah, bertambahnya semakin menjauhkan hati mereka satu sama lain. Sedangkan berkurangnya membawa hati kita saling bertikai, meski tak ada pertengkaran, atau sekurang-kurangnya menyebabkan terjauhkan dari kebaikan.

Wallahu a'lam bish-shawab.

http://salinantulisanfauziladhim.blogspot.com/2012/03/meraih-barakah-keluarga.html

Albert Tak Pernah Kembali


Ada seorang tokoh yang sangat dihormati oleh dunia psikologi. Ia sangat terkenal dengan ucapannya yang mengagumkan –dan saya tidak berani berkata demikian—tentang anak. Ia berkata, "Berikanlah kepadaku selusin anak-anak sehat, tegap dan berikan dunia yang aku atur sendiri untuk memelihara mereka."

"Aku jamin," kata tokoh kita ini, "Aku sanggup mengambil seorang anak sembarangan saja dan mendidiknya untuk menjadi tipe spesialis yang aku pilih –dokter, pengacara, seniman, saudagar dan bahkan pengemis dan pencuri, tanpa memperhatikan bakat, kecenderungan, tendensi, kemampuan, pekerjaan, dan ras orangtua."

Ia tidak main-main. Ia berkata dengan sungguh-sungguh, meskipun tidak pernah bersedia membuktikan ucapannya. Yang ia buktikan adalah, menerapkan teorinya untuk menimbulkan rasa takut pada anak. Ia melakukan percobaan bersama Rosalie Rayner di Jon Hopkins. Yang dipilih menjadi kelinci percobaan bukan seekor kelinci, tetapi seorang anak yang lucu dan cerdas bernama Albert. Usianya baru sebelas bulan ketika itu. Ia tinggal di sebuah rumah perawatan anak-anak cacat karena ibunya pengasuh di situ. Ia sendiri sangat sehat dan cerdas.

Sekarang, rasa takut ingin diciptakan. Ketika Albert sedang asyik bermain dengan tikus putih kesayangannya, lalu menunjukkan perilaku hendak menyayangi binatang itu, lempengan baja dipukul keras-keras tepat di belakang kepalanya sehingga suaranya sangat memekakkan telinga. Albert bukan saja tersentak kaget. Ia sangat ketakutan, tersungkur jatuh dan menelungkupkan mukanya ke atas kasur. Wajahnya sangat pucat karena rasa takut yang luar biasa.

Reaksi mengerikan ini belum cukup bagi peneliti. Mereka mengulangi lagi proses tersebut. Kali ini Albert tersentak, tersungkur dan mulai gemetar ketakutan. Seminggu kemudian ketika tikus itu diberikan kepadanya, Albert ragu-ragu dan menarik tangannya ketika hidung tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya tikus diperlihatkan dengan suara keras pukulan baja yang memekakkan telinga, sekali lagi tepat di belakang kepala dekat telinganya. Ketakutan Albert semakin bertambah-tambah, dan ia menangis keras. Ia merasa ngeri. Akhirnya, setiap kali tikus itu muncul –walapun tidak diiringi pukulan lempeng baja yang memekakkan telinga—Albert mulai menangis, membalik dan berusaha menjauhi tikus itu.

Kelak, ia bukan saja takut pada tikus. Ia juga ngeri melihat kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Albert yang cerdas dan lucu itu sekarang sudah berubah menjadi sakit jiwa. Kedua peneliti itu bermaksud menyembuhkannya lagi, jika memungkinkan, tetapi Albert dan ibunya segera pergi meninggalkan rumah perawatan itu. Dan tak ada yang tahu nasib Albert, sementara pihak yang berwenang tidak pernah bersikeras menemukannya.

Anak itu memang pergi dengan menjalani nasibnya, diiringi tangis orangtua yang tak habis-habisnya menetes. Tetapi J.B. Watson yang telah menyebabkan anak itu menderita seumur hidup, menjadi orang yang sangat dikagumi karena "penemuannya". Jutaan orang mengangkat topi untuknya karena jasa-jasanya yang luar biasa dalam bidang psikologi. Hari ini, kita juga patut "berterima kasih" kepadanya. Setidaknya, dia telah berjasa menunjukkan contoh buruk perlakuan terhadap anak, sehingga kita tidak perlu mengulangi kebodohan serupa. Atau… jangan-jangan kita sebenarnya lebih kejam daripada Watson? Inilah yang perlu kita renungkan secara jujur.

Boleh jadi kita memang tidak segila Watson, tetapi kita menyebabkan anak-anak kita rapuh jiwanya karena komunikasi yang salah. A.G. Rego, penulis buku How to Stop Worrying & Start Livingmenunjukkan bahwa kegelisahan, kecemasan dan ketidaktenangan banyak berawal dari cara berpikir yang salah. Kita sibuk mengandaikan masa lalu, mengingat-ingatnya dengan hati perih, lalu membayangkan seandainya dapat mengubah apa yang sudah terjadi pada masa lalu kita, sehingga kita tidak bergerak maju. Karena itu, A.G. Rego menyarankan untuk melupakan masa lalu.

Ambillah pelajaran dari masa lalu, tangisilah kebodohan-kebodohan dan kedurhakaan-kedurhakaan yang pernah kita di masa silam sebagai bentuk penyesalan dan pertanggung-jawaban kepada Allah'Azza wa Jalla. Tetapi tangisan itu merupakan penggerak untuk menuju iman yang lebih bersih, 'ibadah yang lebih khusyuk dan 'amal yang lebih baik. Bukan untuk membuat kita terkungkung di dalamnya. Menyibukkan diri dengan berandai-andai ("Coba saya kemarin begini…."), justru akan menjadikan jiwa rapuh dan mental kita sakit.

Menyibukkan diri dengan kata seandainya, juga dapat menjadi pintu setan untuk merusak iman dan menghancurkan kekuatan ruhiyah. Kasus-kasus depresi dimana orang kehilangan harapan dan tak jarang menyalahkan Tuhan, kerapkali berkait erat dengan kecenderungan mengandaikan masa lalu. Sibuk berandai-andai tentang masa lalu yang menyedihkan agar berubah menjadi membanggakan, sering menjadi penyebab keputus¬asaan yang amat berat sebelum menghadapi tantangan nyata. Ini berakibat remuknya kekuatan untuk menghadapi persoalan. Ada masalah sedikit, sudah menimbulkan guncangan besar bagi jiwa. Ada kesalahan sedikit yang ia lakukan, segera saja ia tak habis-habisnya menyalahkan Tuhan –secara langsung maupun tidak—meskipun pengetahuan agamanya luas.

Teringatlah saya dengan Rasulullah saww.. Suatu saat beliau pernah mengingatkan, "Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan, 'Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.' Katakanlah, 'Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi.' Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan."(HR. Muslim).

Berpijak pada hadis ini, tak ada tempat bagi kita untuk menyibukkan diri dengan kata seandainya atas apa-apa yang sudah terjadi. Tak ada manfatnya mengenang masa lalu dengan sibuk berandai-andai. Masa lalu tak pernah menjadi pelajaran, kecuali apabila kita melihatnya dengan pikiran yang jernih, jiwa yang tenang, hati yang bersih, sikap yang baik dan perasaan yang ikhlas dalam menerima takdir. Barangkali kita memang tidak menggunakan kata seandainya, tetapi betapa sering kita justru mengajarkan maknanya kepada anak-anak kita. Kita contohkan kepada mereka bagaimana menyibukkan diri mengandaikan masa lalu dan tidak ridha dengan apa yang sudah terjadi.

Astaghfirullahal 'adzim.

Sibuk mengandaikan masa lalu, juga menyebabkan anak-anak yang cerdas menjadi minder, anak-anak yang hebat menjadi patah semangat dan anak-anak yang kreatif menjadi kehilangan inisiatif. Bukan tidak mungkin mereka bahkan harus menjalani perawatan yang terus-menerus. Mereka menjadi generasi yang lemah tak berdaya; generasi yang Allah perintahkan kepada kita agar merasa takut jangan-jangan meninggalkan di belakang kita generasi yang seperti itu. Allah firmankan dalam kitab-Nya:

وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا

"Dan hendaklah orang-orang pada takut kalau-kalau di belakang hari mereka meninggalkan keturunan yang lemah, dan mencemaskan (merasa ketakutan) akan mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan qaulan sadidan (perkataan yang benar)." (QS. An-Nisaa': 9).

Lalu, apakah mungkin orangtua mengajari anak berandai-andai, sementara kita tahu bahwa di dalamnya ada keburukan yang nyata? Sebelum menjawab pertanyaan ini, izinkan saya bercerita tentang hasil sebuah penelitian yang saya baca saat membuat tulisan ini. Ada hal yang mengejutkan –atau sebenarnya tidak terlalu mengherankan—bahwa 30 persen dari kasus depresi yang dialami anak, bersumber dari komunikasi yang tidak sehat antara orangtua dan anak. Lebih khusus lagi komunikasi antara ibu dan anak, meski dalam kasus lain lebih banyak berkait dengan pola komunikasi yang buruk antara ayah dan anak. Di sisi lain, komunikasi ibu dan anak dipengaruhi oleh kualitas komunikasi suami-istri, disamping tentu saja faktor pengalamannya dalam keluarga.

Sikap mental yang rawan terganggu, juga banyak diserap dari orangtua. Kadang kita tidak menyadari, tetapi kita mengajari anak untuk berandai-andai dengan masa lalu ketika mata kita membelalak seraya berkata, "Bapak kan sudah berkata. Coba kalau kemarin ikut les, nilaimu pasti bagus. Kamu tidak kalah dengan temanmu."

Atau ketika anak selesai ikut lomba, kita pukul kepala kita sendiri sambil merutuk, "Ah, coba seandainya kamu tadi bawa cat air… ah, coba kamu bawa, pasti kamu menang."

Sekedar catatan, pengalaman yang sangat membekas dan memberi pengaruh kuat kepada anak untuk berandai-andai dengan masa lalu –bukan masa depan—banyak terjadi saat anak gagal mengikuti lomba. Termasuk dalam kategori gagal adalah mereka yang menjadi juara dua, juara tiga, juara harapan… dan apalagi yang tidak memiliki harapan menjadi juara. Mereka yang menjadi juara dua dengan selisih nilai yang sangat sedikit, justru lebih rentan mengalami sindrom "seandainya" karena orangtua, guru serta orang-orang dekat lainnya seringkali justru lebih ekspresif dalam mengungkapkan kata seandainya dan sekaligus menyertai ucapan itu dengan menunjukkan kekecewaan yang berat. Itu sebabnya, saya melarang anak-anak ikut lomba. Boleh jadi mengikuti acara lomba lukis, tetapi bukan dalam rangka lomba, melainkan sebagai kesempatan melukis bersama.

Anak-anak yang lemah jiwanya, kerapkali juga berawal dari melihat orang yang sangat dengannya suka merutuk masa lalu. Mungkin karena kecewa, tanpa sadar seorang bapak memaki-maki masa lalu, "Ah, bodoh… bodoh…. Seandainya tadi saya tidak singgah, mungkin tidak begini kejadiannya."

Ah… jangan-jangan kita iman yang belum tertanam kuat di hati kita, sehingga tidak ridha terhadap takdir-Nya.

http://salinantulisanfauziladhim.blogspot.com/2012/03/albert-tak-pernah-kembali.html

Mulainya dari Adab


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim




Pengantar:

Artikel berikut ini merupakan tulisan pertama dari serial tulisan berkesinambungan tentang pendidikan yang dimuat di majalah Hidayatullah, mulai edisi ini, Februari 2012. Tulisan yang saya posting di bawah ini merupakan versi orisinal. Jika ingin membaca versi yang lebih renyah, bahasanya lebih lincah, ada sedikit pemotongan tapi sama sekali tidak mengganggu dan bahkan efektif, silakan baca di majalah Hidayatullah.

Mohon do'anya agar dapat menuliskannya secara tuntas dan memadai. Tulisan berseri ini kira-kira akan saya tulis dalam 4 atau 8 edisi.

Terima kasih kepada redaksi Majalah Hidayatullah yang telah mengizinkan tulisan ini di facebook ketika bulan edisi majalahnya masih berlaku. Semoga Allah Ta'ala berikan barakah dan rahmat-Nya bagi keluarga besar majalah Hidayatullah.

"""
Tanpa pembentukan adab yang kuat, tak ada alasan mendasar untuk memasukkan anak di sekolah berasrama (boarding school). Inilah pilar pendidikan yang harus mendapat perhatian utama. Ini pula yang harus ditegakkan pertama kali sebagai bagian dari tarbiyah. Ibarat tanah, kita siapkan lahannya dulu sebelum kita tanami. Ibarat sawah, kita olah dulu sehingga menjadi lahan yang subur untuk menyemai berbagai bentuk kebaikan dan 'ilmu. Tanpa ta'dib dan tarbiyah, tak ada pembeda yang sangat penting dengan sekolah yang berangkat pagi pulang sore, kecuali bahwa anak-anak itu tinggal di tempat yang sama, yakni asrama. Tanpa tarbiyah dan ta'dib, sekolah asrama hanya menyediakan tempat menginap, tapi bukan pesantren. Sebagaimana, sekarang telah banyak pondok pesantren yang telah kehilangan kata pesantren, sehingga yang tersisa tinggal pemondokannya saja.

Pembentukan adab juga harus menjadi bagian sangat penting dari sekolah sehari penuh (fullday), terlebih ketika berani menempelkan kata islam pada model sekolahnya; apakah islam terpadu, islam integral, islam plus atau apa pun itu. Tanpa ada proses ta'dib yang serius dan terencana, pilihan kita memasukkan anak ke sekolah sehari penuh boleh jadi justru bukan menempa anak agar menjadi pribadi yang baik dan matang, tetapi justru menjerumuskan. Keburukan itu akan lebih besar lagi pengaruhnya pada sekolah berasrama, sebagaimana kebaikannya juga sangat besar jika tertata dengan sangat baik dan penuh kesungguhan.

Boleh jadi selama di asrama anak-anak terbiasa berperilaku sopan dan bertutur santun. Tapi tanpa proses ta'dib yang matang, kebaikan dalam berperilaku maupun bertutur hanyalah kebiasaan tanpa dasar, tanpa pilar. Mereka baik karena lingkungan kondusif untuk berbuat baik. Mereka baik karena lingkungan kurang memungkinkan berbuat buruk atau bahkan tidak memungkinkan berbuat jelek. Tapi jika hati tak mengingini, kecintaan terhadap perbuatan baik itu tidak tumbuh dengan kokoh, maka ia akan mudah hilang tanpa bekas begitu keluar dari lingkungan tersebut. Berbagai kebiasaan baik tersebut berubah drastis bukan karena pengaruh lingkungan, tetapi karena sedari awal anak-anak memang tak mengingini kebaikan tersebut, sementara upaya menanamkan kecintaan nyaris tak ada. Salah satu sebabnya, kita menganggap bahwa penjelasan telah cukup untuk menyadarkan. Padahal beda sekali antara faham dan sadar. Penjelasan itu memahamkan, bukan menyadarkan.

Lalu, kapan ta'dib perlu kita berikan kepada anak? Sepanjang masa. Selama mereka masih di asrama, selama itu pula proses ta'dib dan tarbiyah berlangsung secara terus-menerus dan berkelanjutan. Tetapi untuk sebuah perubahan terencana, tiga bulan pertama merupakan masa yang amat penting untuk melakukan ta'dib. Inilah masa yang paling strategis. Kita dapat melakukan perubahan kapan saja, tetapi saat paling tepat untuk melakukan perubahan mendasar adalah masa awal masuk asrama atau sekolah. Inilah masa penting membentuk sikap, menanamkan nilai, membangun orientasi belajar dan orientasi hidup. Inilah masa paling berharga untuk membangun adab yang baik dan kuat dalam diri anak.

Jadi, awal di asrama sepatutnya kita manfaatkan secara serius untuk membangun hal-hal mendasar yang diperlukan oleh siswa, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam mengarungi hidup yang amat panjang. Orientasi kampus bisa saja kita lakukan. Tapi itu bukan yang terpenting. Jika kita mendirikan sekolah untuk sebuah tujuan ideologis yang sangat idealis, jangan segan meninjau ulang apa-apa yang tampak telah lumrah dilakukan berbagai lembaga.

Apa yang perlu kita perhatikan dalam proses ta'dib? Pembiasaan dan bahkan pemaksaan atau pengharusan berperilaku sesuai tuntunan (mulazamah), pendampingan sehingga apa yang berat terasa lebih ringan, penyampaian ilmu sehingga anak tak sekedar terbiasa melakukan, dan yang tak kalah pentingnya adalah targhiib wat tarhib. Jika penjelasan memahamkan anak apa-apa yang sebelumnya tidak ia pahami, maka targhiib wat tarhib kita berikan untuk menumbuhkan kesadaran. Dua hal ini, paham dan sadar, merupakan perkara penting yang berbeda ranahnya. Paham itu berada pada ranah kognitif, sementara sadar merupakan jenjang terendah ranah afektif.

Mengapa dua hal ini harus kita berikan secara berbarengan (simultan)? Sekedar paham, sematang apa pun pemahamannya hingga mampu menjelaskan secara gamblang dan memuaskan, tidak berpengaruh pada sikap maupun perilaku. Bukankah orang-orang Yahudi banyak yang memahami Islam dengan baik, tetapi mereka tidak bersedia tunduk kepada petunjuk? Sementara kesadaran tanpa mengilmui membuahkan keinginan untuk berbuat, tetapi tanpa terasa bisa terlepas dari tuntunan. Bukankah telah berlalu orang-orang sebelum kita yang gigih beramal tapi terlepas dari kebaikan karena jauh dari petunjuk? Maka, keduanya harus ada: pemahaman dan kesadaran. Keduanya ditumbuhkan berbarengan dengan proses pembiasaan, pendampingan dan pengasuhan.

Jika ranah afektif telah tersentuh, kesadaran telah tumbuh, maka hadirnya pemahaman akan menguatkan keyakinan, Semakin kuat ia memegangi nilai, menginternalisasikan dalam dirinya, lalu perlahan ia mengikatkan diri pada nilai tersebut (organizing) dan pada akhirnya semoga sampai pada jenjang karakterisasi diri. Dus, karakterisasi diri merupakan proses panjang. Ia bermula dari kesadaran, memunculkan keinginan berbuat sesuai apa yang ada dalam kesadarannya, menghayati nilai-nilai itu, mengikatkan diri pada nilai atau sistem nilai tersebut dan pada akhirnya mencapai karakterisasi diri.

Sungguh, kebohongan besar dan dusta keji jika ada yang menawarkan kiat praktis membentuk karakter hanya dalam waktu dua hari!


Merebut Masa Awal Sekolah

Kembali pada pembahasan tentang ta'dib. Tiga bulan pertama merupakan masa paling penting bagi pembentukan 'adab yang berperan sangat penting bagi proses pembentukan iklim kelas dan budaya sekolah di kemudian hari. Selama tiga bulan, kegiatan akademik diminimalkan, terutama di asrama. Fokus kegiatan ada pada ta'dib dan tarbiyah. Bukan ta'lim.

Saya pernah mengusulkan program semacam ini kepada sebuah sekolah dasar, tetapi belum pernah benar-benar menyampaikan secara detil apa saja yang harus dilakukan pada tiga bulan pertama. Baru kulit-kulitnya saja bersebab ada gejala program tersebut terlalu tergesa-gesa dipasarkan sebagai proyek pelatihan oleh sebagian orang sebelum konsepnya benar-benar dipahami dengan matang. Ini tentu saja kontraproduktif bagi sebuah proses ta'dib. Sebuah pelatihan haruslah diilmui secara matang. Jauh lebih baik lagi jika ia dikuati pengalaman lapangan yang sangat kaya, termasuk bagaimana mengatasi masalah yang terjadi selama proses implementasi berlangsung. Jika gagasan selintas sudah menjadi program pelatihan, hampir pasti yang terjadi hanya pencitraan atau permainan saja. Dan hari ini, betapa banyak pelatihan yang sebagian besar isinya adalah ice breaking berupa hiburan. Padahal konsep awal ice breaking adalah upaya memecah kebekuan hanya jika peserta sudah jenuh dan lelah.

Apakah sekolah harus mengambil waktu sedemikian lama hanya untuk membentuk adab? Ada dua jawaban sederhana. Pertama, ibarat menanam padi, pembentukan adab merupakan proses penyiapan lahan agar tanaman yang kita semai dapat tumbuh subur. Keberhasilan pembelajaran dan pembentukan budaya sekolah sangat dipengaruhi oleh kuat lemahnya 'adab pada pribadi tiap siswa. Pembicaraan ini terasa lebih mendesak mengingat banyak anak masuk sekolah berasrama tanpa bekal adab dan mental yang memadai dari rumah. Kita bisa melaksanakan proses pembiasaan dalam waktu lebih singkat. Tetapi sulit berharap bisa terpatri lebih dalam, terbangun lebih kokoh. Kedua, kerepotan mengurusi siswa akibat lalai menyiapkan adab mereka di awal jauh lebih panjang dan melelahkan, sehingga mengkhususkan waktu di awal (khususnya di asrama) akan sangat bermanfaat. Selain itu, jika mereka telah memiliki adab yang kuat serta menghayati fadhilah ilmu maupun menuntut ilmu, kita bisa berharap mereka akan memiliki sikap belajar serta orientasi studi yang baik.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Lalu, apa saja ruang lingkup adab yang perlu kita perhatikan? Do'akan saya. InsyaAllah bulan April saya hadir kembali untuk membahas, tetap di rubrik ini: Kolom Parenting Majalah Hidayatullah. Sesudahnya, kita berbincang telah fadhilah ilmu dan menuntut ilmu.

""" Majalah Hidayatullah edisi Maret insyaAllah memuat tulisan saya bertajuk Pilarnya adalah Adab. Masih rangkaian dari tulisan ini.


http://salinantulisanfauziladhim.blogspot.com/2012/03/mulainya-dari-adab.html

Mencintai Penanda Dosa

Oleh : Salim a Fillah

“Ah, surga masih jauh.”

Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?

Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.

Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?

Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.

“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.

“Ah, surga masih jauh.”

Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.

Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.

Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.

“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”

“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”

“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”

Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”

Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.

Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.

“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”

Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.

“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.

“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”

“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.

“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”

“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.

Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.

Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

Copyright By :
-salim a. fillah, www.safillah.co.cc-

Kultwit Salim A. Fillah tentang Jodoh




Rizqi kita sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh. Mau diambil lewat jalan halal ataukah haram, dapatnya segitu juga. Yang beda, rasa berkahnya;)

Jodoh kita sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh. Mau diambil dari jalan halal ataukah haram, dapatnya yang itu juga. Yang beda, rasa berkahnya;)

Keduanya bukan tentang apa, berapa, atau siapa; tapi BAGAIMANA Allah memberikannya; diulurkan lembut & mesra, atau dilempar penuh murka?

Maka layakkanlah diri di hadapanNya untuk dianugerahi rizqi & jodoh dalam serah terima paling sakral, mesra, penuh cinta, berkah, & makna.

Rizqi & jodoh di tangan Allah. Tapi jika tak diambil-ambil, ya di tangan Allah terus;P Ikhtiyar suci & doa menghiba mendekatlan keduanya

Setiap orang memiliki jodohnya. Jika takdir dunia tak menyatukannya, atau malah melekatkan pada yang tak sejalan; surga kelak mempertemukan.

Jodoh Nuh & Luth bukan isteri mereka. Jodoh Asiyah isteri Fir’aun bukanlah suaminya. Maryam ibunda ‘Isa pun kelak bertemu jodohnya.

Jodoh Abu Lahab itu agaknya Ummu Jamil; sebab mereka kekal hingga neraka. Jodoh Sulaiman agaknya Balqis, bersama mereka mengabdi padaNya;)

Di QS An Nuur: 26; diri ialah cermin bagi jodoh hati. Yang baik-baik jadilah jodoh yang suci-suci. Yang nista-nista jumpalah yang keji-keji.

Tentu makna ayat itu adalah peringatan & kerangka ikhtiyar: cara menjemput jodoh terbaik adalah dengan membaikkan diri di tiap bilang hari.

Yang menjemput pasangan dengan menggoda matanya; bersiaplah mendapatkan ia yang tak tahan atas jebak kejelitaan lain.

Tiap masa lalu buram yang tersesal dalam taubat suci; semoga jadi jalan mengantar kita pada kelayakan mendapat jodoh yang terbaik.

Jodoh tetap misteri. Syukuri ketidaktahuan itu dengan merencanakan & mengupayakan yang terbaik menuju pernikahan suci di dunia nan fana.

Selanjutnya, tugas besar kita adalah melestarikan perjodohan itu hingga ke surga; meniti rumahtangga, sabar-syukur dalam barakah & ridhaNya.

Rumus keberpasangan tak selalu sama; (1) ada dua arus sungai yang bertemu, bergabung mengalir jadi satu. Itu namanya KESAMAAN cc: @anismatta

Rumus keberpasangan ke (2), ada jua panas menggelegak bertemu dingin membekukan; menjadi hangat yang syahdu. Itu KESEIMBANGAN cc: @anismatta

Rumus keberpasangan ke (3), adalah lautan yang teduh nan berjumpa angin berderu; menjadi badai yang dahsyat. Itu PERPADUAN. cc: @anismatta

Berharap akan sosok boleh saja; tapi jika Allah pilihkan yang lebih baik, lebih kaya, lebih rupawan darinya dampingi kita, jangan menolak;)

Nabi anjurkan nazhar; melihat calon pasangan sebelum nikah. Tentu untuk temukan hal nan menarik, bukan cacat-cela. Tajamkan mata batin kita.

Dalam hidup bersama di ikatan suci nan kita ikrarkan bersama ‘jodoh’ kita, hijrahkan cinta dari kata benda menjadi kata kerja, kalimat amal.

Di titian hari-hari setelah akad suci; hijrahkan rasa dari jatuh cinta menjadi bangun cinta; pastikan jadi megah istana, tinggi gapai surga.

Isteri & suami sejatinya tak saling memiliki. Kita hanya saling dititipi. Maka salinglah menjaga dalam menggenapkan agama, mentaatiNya.

Ketaatan Betepuk Sebelah Tangan


Isep Saepul Muzaki (Notes) on Tuesday, May 8, 2012 at 1:25pm
Oleh : Isep Saepul Muzaki

Pendahuluan
Kata bijak ilmu ini menjadi sangat baik kita renungkan, kata itu dikemuka oleh sahabat pilihan, Muadz bin Jabal ra1. “ijlis binaa, nu’min sa’ah”, kemariah sebentar, kita duduk untuk memperbarui iman. Karen tabi’at hati itu senantiasa berbolak-balik,oleh karenanya kita sering mendo’a dengan do’a pembolak-balik hati, “allohuma ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinika wa ‘ala tho’atiKa”. Dalam dakwah ini di berbagai lininya, tarbiyah, siyasah, iqtishadiyah, perlahan berubaha menjadi kejenuhan dan kebosanan karena aktivitas yang sangat menggerogoti seluruh apa yang kita miliki, Hasan Al Bana menyampaikan bahwa dakwah ini sampai menyedot tenaga, pikiran, dan harta yang kita miliki, begitu pula Al Qur’an mendasari hal tersebut juga dalam Q. S At – Taubat : 88 (sila dilihat). Hal ini tidak seperti dulu, ketika dibina dalam halaqoh-halaqoh di rumah-rumah sempit, di pojok-pojok mushola, namun semuanya terasa penuh warna dan gairah. Saat ini kita merasa terhujani kemudian menguap kembali ke atas, ternikmati kemudian hilang tiada rasa sama sekali. Maka mari sejenak untuk berkotemplasi diri, mereorientasikan arah gerak kita, mari menghisab.
Tepat di saat ini mari kita perbaharui iman kita dalam ketaatan. Hal ini menjadi sangat penting adanya, karena setan menentang prakarsa seorang junud yang mengokohkan tekad taatnya, ia akan merasuk memprasangakai dalam hatinya dengan mempertanyakan “apakah ketaatan ini akan membuatnya meninggalkan suatu kebenaran yang diyakininya?”. Dalam hal lain pula para du’at dakwah sering tergelincir dalam menempatkan keta’atan, ia kadang terkelabui oleh “figure”/ “manusia”. Seringkali ia berta’at kepada seorang yang lain, namun ia menyeleweng kpd yang lain, bahkan dalam konteks perintah kebaikan yang sama. Oleh karenanya tulisan ini dibuat dalam menghisab diri khususnya, yang bagaiman diri menenun sebuah nilai keta’atan yang harus paripurna, ia tidak boleh tercecer dan terkhianati oleh tabi’at diri. Sehingga saya pribadi tertarik untuk membahas kajian kita kali ini dengan tema “Ketaatan bertepuk Sebelah Tangan”

Ath-Tha’ah
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[314], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (An-Nisa’ : 66-70)
“yang kami maksud dengan Tha’ah adalah melaksanakan perintah dan merealisasikan dengan serta merta, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, bersemangat maupun malas. Yang demikian itu karena tahapan dakwah ini ada tiga : ta’rif (pengenalan), takwin (pebentukan), dan tanfidz (pelaksanaan)”. -Hasan Al Bana-
Dalam memahami keta’atan tersebut, di atas dikemukakakn sumber jelas dalam memahami makna keta’atan, ia terkuatkan oleh ayat Qur’an dan pernyataan oleh seorang pembaharu Islam, Hasan Al Bana.
Sesungguhnya rahasia kekuatan semua Jama’ah, angkatan bersenjata, dan Negara, terletak pada adanya penyerahan mayoritas kepada kelompok kecil yang memimpin dan menggariskan jalan, baik dikalangan kaum muslimin maupun non muslim, dari dulu sampai masa yang akang datang. (Muhammad Ahmad Ar Rasyid, 2002).
Dalam sebuah literarur lain, saya mengutip perkataan seorang panglima Inggris, Marsekal Montgomery tentang syarat-syarat kemenangan, yang memenangkan pertempuran Alamin(Mesir, 1942) melawan tentara jerman, berkata dalam buku hariannya : “Sesungguhnya saya memasukkan unsur-unsur penting dalam system kekrja, yaitu bahwa semua perintah pimpinan tidak boleh dibantah oleh perwira kecil. Sebagaimana sering saya saksikan dalam berbagai peristiwa. Karena apabila ada banyak strategi, maka pasukan akan dipastikan akan gagal, sebab mereka tidak meyakini kebenaran satu strategi” 2

Amal tha’at sahabat
Hudzaifah di medan ahzab
Kejadian ini berlangsung pada saat terjadinya perang khandak (parit), dinamakan itu karena berkat atas usulan salman al farisi untuk membuat parit agar kaum musyrikin makkah dalam jumlah yang banyak tidak bisa mendekati camp kaum muslimin. Perang ini juga di sebut sebagia perang ahzab (sekutu ; pasukan multinasional), karena yahudi bani quridhah yang pernah menyatakan perjanjian damainya dengan kaum muslimin telah nyata-nyata mengingkari janji, mereka malah bergabung bersama kaum kafir quraisy. Maka semakin lengkaplah kekuatan musuh dan semakin besarlah bahaya yang mengepung kaum muslimin.
Dalam keadaan tak menentu itu, datanglah pertolongan Allah swt. Terjadilah peristiwa alam yang langka. Suatu malam, hujan-angin datang di sertai badai besar hingga membuat panic setiap orang. Cuaca menjadi sangat dingin, di bersamai dengan kilatan halilintar yang membahana, masih diiringi deru putting beliung yang luar biasa kencangnya. Periuk-periuk pasukan kafir quraisy pun berjatuhan, kemah berterbangan terbawa angin. Dinginnya angin dan hujan membuat setiap orang menggigil luar biasa. Dan hal tersebut membuat semua orang kafir quraisy semakin tidak karuan hati dan fikirannya.
Dalam kondisi seperti itu pun membuat sulit dan berat bagi Rasulullaah saw. Justru untuk ingin mengetahui bagaimana kondisi pasukan musuh. Kaum muslimin merasakan hal yang sama dengan kaum kafir quraisy, mereka terdiam di tenda-tenda mereka mendekap kaki mencari kehangatan. Para shabat duduk membantu dalam kegelapan bagaikan onggokan bebatuan mati. Di tengah kebisuan itu Rasulullah saw. Bersabda, “adakah yang bersedia mencari berita musuh dan melaporkannya kepadaku, mudah-mudahan Allah menjadikannya bersamaku di hari kiamat !”. saat itu semua shabat terdiam, menahan dingin dan didekap penderitaan yang berat, serta ditambah rasa takut yang masih menyelimuti. Padahal biasanya para Shahabat akan menyegerakan diri pada saat menerima perintah Rasulullah saw. tersebut. Sampai rasulullah saw., mengulanginya tiga kali berturut-turut. Begitu pun dengan para Shahabat tetap tidak ada yang menyambut tawaran itu. Hingga kemudian Rasulullah saw. berseru, “qum… ya Hudzaifah!!!, carilah berita dan laporkanlah kepadaku !”
Dengan segera, ketika Rasululullah saw. menyebut namanya, Hudzaifah bangkit; tidak ada penolakan, tidak ada tawar menawar, dan langsung menghadap kepada rasulullah saw. Padahal, ketika itu hudzaifah sedang menikmati kehangatan dalam kedinginan yang membeku.
Hudzaifah mengisahkan pada saat ia menjalankan tugasnya tersebut, ia berkata “aku berangkat seperti orang yang sedang dicengkrama kematian, seolah-olah maut telah ada di depan pelupuk mataku. Aku pun tiba di wilayah konsentrasi musuh. Di sana aku dapat melihat dengan jelas abu sufyan yang menjadi panglima perang mereka sedang menghangatkan penggungnya d perapian. Secara reflek aku segera memasang anak memanah pada busur dan aku arahkan ke tubuhnya yang hanya berjarak beberapa langkah dari posisiku. Namun sebelum anak tersebut aku lepaskan, aku teringat perintah Rasulullah saw., “janganlah engkau melakukan tindakan apapun !”, maka aku segera mengurungkun niat, aku ingat betul akan tugasku. Tugasku hanya mencari berita tentang keadaan musuh belaka. Padahal jika aku lepaskan panahku tersebut aku sangat yakin pasti akan mengenai abu sufyan. Aku urungkan niat, dan berjalan berkeliling di antara mereka. Keadaanya sungguh sangat parah.
Tiba-tiba, telinga menangkap perintah abu sufyan yang berteriak mengingatkan pasukannya. “wahai quraisy, hendaklah kalian tetap waspada di tengah kegelapan ini. Yakinlah bahwa orang-orang yang duduk di sisi kanan-kirimu benar-benar adalah kawanmu. Maka selidikilah !!”. aku pun secepat kilat menanyai dan memegang tangannya untuk menanyai orang-orang yang disekitarku. Dan selamatlah aku karena tidak ada yang menanyai identitasku.
Abu sufyan ku lihat berdiri dan menyampaikan kepada kaumnya untuk pulang, karena perbekalan telah habis dan tidak ada yang tersisa, serta bani quraidhoh telah mencedrai mereka. “pulang sajalah kita !, aku pun hendak pulang”.
Begitulah ketaatan hudzaifah ra. yang luar biasa. Sami’na wa atho’na dalam kondisi apapun, baik ringan maupun berat, susah atau senang.

Abdullah bin Zubair
Perang uhud adalah perang yang sangat begitu menyakiti hati Rasulullah saw., karena pada saat perang tersebut banyak para sahabatnya yang meninggal, termasuk paman yang sangat dicintainya, Hamzah, meninggal pada perang tersebut, dan tubuhnya dikoyak, serta jantungnya dimakan oleh hindun. Dan kekalahan ini diakibatkan oleh indisipliner sebagian sahabat nabi saw. Mereka mencedrai perintah Rasulullah saw. yang berarti mereka tidak mematuhi perintahnya. Hal tersebut terkecuali kepada salah satu sahabat pilihan Nabi saw., yaitu Abdullah bin Zubair sebagai pimpinan di belakang. Rasulullah saw. berpesan untuk berjaga di di bagian belakang walaupun berhasil mendesak dan mengalahkan musuh, jangan ikut turun menjarah ghonimah, melihat pasukan banyak yang gugur, “Tetaplah dalam posisi kalian sebelum aku perintahkan untuk turun !!”.
Akhirnya pun petaka pun terjadi, saat kaum muslimin melihat harta rampasan yang ditinggalkan pemiliknya, dan mereka meyakini musuh telah mundur, meraka berteriak “ghanimah..! ghanimah..!” dan ternyata tanpa dikomondo untuk turun, pasukan pemanahpun ikut tergiur dan akhirnya turun dari bukit untuk mengambil ghanimah. Abdullah bin Zubair berseru mngingatkan “wahai pasukan !! bertahanlah di tempatmu ! ingat pesan Nabimu !! Demi Allah aku tidak akan melanggar perintah Rasulullah saw !!”. Namun, peringatnnya hanyalah suara yang membahana. Tinggallah di bukit itu, dia dan beberapa pasukan yang tetap setia berjaga menaati perintah Nabi. Bilangan mereka tak sampai sepuluh orang.
Dan akhirnya kemenangan yang yang tinggal menunggu waktu itu berbuah petaka. Pasukan Islam menjadi kacau, dan akhirnya menuai kekalahan. Kekalahan perang uhud tak pelak lagi adlaha karena buah dari kekeringan rohani. Yakni, hilangnya semangat dan sikap ketaatan kepada Nabi-Nya saw.

Abu Bakr dan kebelian panglima Usamah bin Zaid
Ketika itu, Usamah baru berusia belasan tahun. Padahal, dalam pasukan itu terdapat shabat-shabat besar semacam : Abu Bakr, Umar Al Khattab, Utsman, Ali, Abu Ubaidah ibnu jarrah, abdurahman bin auf, dan sahabat senior lainnya. Maka sangat wajar dan manusiawi apabila ada beberapa shabat yang tidak memahami keputusan Nabi saw. tatkala mengangkat panglima perang yang masih muda belia, miskin pengalaman, dan memimpin para shahabat veteran badr yang sudah sangat senior. Menghadapi keraguan dan kritik sebagian shahabat itu Rasul saw., dengan tegas bersabda “kalau kalian tidak menyetujui kebijaksanaanku mengangkat Usamah, berarti kalian tidak menyetujui juga kebijaksanaanku dahulu ketika mengangkat Zaid bin harits (ayah usamah) sebagai panglima perang mut’ah. Demi Allah, Zaid dahulu memang tepat sebagai panglima. Sekarang pun Usamah, anaknya, juga orang yang tepat menjadi panglima! Aku memang suka pada anak itu !”
Sampai pada perkataan Nabi saw. tersebut langsung difahami oleh para shabat, yang meraka yakini akan banyak hikmah yang akan didapatinya, dan mereka pun segera medaftarkan diri untuk menjadi pasukan yang dipimpinnya. Dalam waktu yang berjalan, titah Rasulullah kepada Usamah dalam melaksanakan perintahnya mendapatkan masalah, di karenakan kondisi kesehat Rasulullah saw. tidak membaik hingga sampai pada wafatnya Rasulullah saw., yang mengakibatkan terguncangnya seluruh kaum muslimin.
Di wafatnya Rasulullah saw. mengakibatkan pemusyawarahn untuk pergantian pemimpin kaum muslimin, yang akhirnya memufakat pada Abu Bakr As Shidiq sebagai khalifah. Dan tugas pertamakali Abu Bakr adalah melanjut titah Rasul yang harus di seleseikan, salah satunya titah pada Usamah bin Zaid. Usamah pun melaksanakan perintah khalifah. Disiapkanlah rombongan pasukan. Tiba-tiba, Usamah berkata pada Umar Al Khatab, “menghadaplah kepada khalifah, dan mohonkanlah izin aku untuk mengurangi pasukan. Demikian itu aku merasa cukup dengan beberapa tokoh saja. Demikian itu karena aku merasa khawatir akan keselamatan khalifah dan rakyat yang ada dalam tanggung jawabnya!”
Orang-orang anshar menitipkan pesan kepada umar untuk disampaikan kepada khalifah, “jika khalifah tetap menghendaki kami melanjutkan perjalanan, maka sampaikanlah usulan kami agar beliau mengangkat orang yang lebih senior dari Usamah untuk memimpin kami !”
Umar pun segera kembali dan menyampaikan hal yang telah dititipkannya kepada beliau untuk disampaikan kepada khalifah abu bakr, dan kemudian pada saat mendengar dari apa yang disampaikan umar kepada beliau, maka abu bakr pun marah besar, dia mengatakan “sekiranya aku dimakan anjing dan derigala sekalipun, aku tidak akan menolak keputusan yang telah diambil Rasulullah saw”. Dan Umar menimbal lagi dengan mengatakan bahwa kaum anshor ppun menghendaki seperti itu, maka suara Abu bakr pun semakin keraslah menegur umar, “mati saja ibumu, hai ibnul khattab!, Rasulullah saw., telah megangkatnya, lalu kau menyuruhku untuk memecatnya ?”
Umar pun kembali, dan kaum anshor menanyakan jawaban khalifah, dan umar pun menjaawab “ semoga Allah memberkati. Lantjutkan perjalanan, khalifah tidak menyetujui usul kalian. Kalian hanya menghantarkan aku menerima kemurkaan khalifah saja”. Dan itulah ketaatan dari seorang usamah dan abu bakr dalam mentaati perintah Rasulullah saw.
Abu bakr sendiri turut berangkat melepas pasukan dengan berjalan kaki sampai di batas kota. Melihat khalifah berjalan kaki, sementara dirinya berada di panggung kuda, usamah memohon, “wahai khalifah Rasulullah, anda harus naik kendaraan, atau aku harus turun menyertaimu?”
“demi Allah, jangan turun dari kudamu dan aku pun tak hendak menaiki kuda. Tidak boleh kah aku mengotori kakiku dengan debujihad fi sabilillah. Yang demikian itu karena orang yang berjihad akan mendapat tujuh ratus kebaikan untuk tiap langkahnya, tujuh ratus derajat dirinya ditinggikan, tujuh ratus keburukan dihapuskan karenanya !” jawab abu bakr tegas dan berwibawa.
Abu bakr sangat hormat terhadap Usamah, sampai-sampai tatkala abu bakr hendak menahan umar untuk tinggal di madinah, ia harus meminta izin kepada usamah.

Kondisi kekinian
Kondisi kekinian dari pada kita adalah adanya pembiasan keta’atan, seakan ketaatan adalah taat nya kita kepada seseorang, lepas dari itu maka kita seakan menjadi bagian yang menunda ketaatan tersebut. Sehingga ketaatan itu pada aakhirnya adalah suatu “mood” saja, atau saat itulah seseoang akan bergantung pada keinginannya hawa nafsu. Ia akan taat pada hal-hal yang sesuai dengan keinginannya dan ringan. Tetapi ia akan menjadi bagian penentang, pada saat tidak sesuai dengan keinginannya dan berat.
Abdul wahab ‘azzam berkata : “Mereka akan segera taat pada hal-hal yang mereka sukai, namun mereka akan bermalas-malasan pada hal-hal yang mereka benci. Apabila dihadapkan pada ujian untuk melakukan suatu ha yang tidak mereka sukai sekalipun di dalamnya ada kemaslahatan jam’ah, maka mereka akan berpaling sambil memberi alasan, atau mereka akan mentaati dengan terpaksa, dan melaksanakan dengan hati kesal”.
“Dan datang (kepada Nabi) orang-orang yang mengemukakan 'uzur, yaitu orang-orang Arab Badui agar diberi izin bagi mereka (untuk tidak berjihad), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih.” -Q. S At Taubat : 90-
Padahal kita harus melaksanakan kewajiban dalam keadaan suka ataupun tidak suka. kita harus menerima kewajiban sebagai suatu kebutuhan, kepastian yang mengandung keraguan, dan kesungguhan yang tidak mengenal kemalasan. Tidak ada tempat bagi pendapat pribadi di dalamnya. Tidak ada pilihan bagi hawa nafsu di dalamnya. Ia adalah kewajiban yang harus diterima engan ridho, dilaksanakan dengan penuh semangat, dipikul dengan sabar, dan diyakini bermanfaat sekalipun anda harus menderita.
Beginilah sebuah jama’ah dan individu dalam membentuk tabi’at diri dalam menuai kewajiban, tidak ada niat dan daya untuk lari atau tawar-menawar. Karena semua itu ukuran kejujuran dalam individu, dan neraca keihlasan di dalam jam’ah 3. Sayyid Qutb berkata : “salah satu ciri khas Bani Israil; melanggar kesepakatan, mengkhianati janji, tidak mau taat, lari dari kewajiban, ucapan yang tidak bisa dipegang dan berpaling dari kebenaran yang nyata. Akan tetapi, karakter ini juga merupakan tabi’at setiap jama’ah yang belum matang pendidikan imannya.
Oleh karena itu, tarbiyah untuk memiliki ketaatan sejati termasuk asas dalam gerakan dakwah kita. As-Syahid Hasan Al Bana telah menjelaskan bahwa jalan kita didasarkan pada : “pembentukan (takwin) dengan cara menyeleksi unsur-unsur yang tidak layak untuk mengemban semua beban jihad dan memadukan sebagiannya dengan sebagian lain”. Sehingga dalam hal ini sekali lagi “keta’atan” ini akan menyeleksi secara sendiri sesiapa di antara kita yang memiliki baiknya iman atau tidak. Dakwah pada tahap ini, bersifat “khusus”. Tidak akan bergabung dengannya kecuali orang yang benar-benar telah siap mengemban semua beban jihad yang panjang dan banyak resiko. Kesiapan pertama dalam hal ini adalah “ketaatan yang sempurna”. Sedangkan syiar dakwah pada tahap ini adalah “perintah” dan “ketaatan”, tanpa keraguan, tanpa protes, tanpa bimbang, dan tanpa meras berat.

Berbagai alasan “ketaatan bertepuk sebelah tangan”
Meremehkan amal jama’i
Ia lebih senang dalam kesendiriannya, cenderung untuk tidak mau berjama’ah. Ia berpikir lebih baik sendiri dan tidak mau dalam ikatan sebuah aturan. Lebih senang pada ijtihad-ijtihad pribadi, dan mengabaikan mufakat jama’i.
Bergantung kepada individu lebih kuat
Lebih banyak bergantung kepada pribadi tertentu ketimbang kepada jama’ah dan pimpinan, merupakan penyimpangan yang dapat mengakibatkan ketaatan seseorang inilah yang bertepuk sebelah tangan. Taatnya adalah atas pribadi tertentu, bukan atas dasar iman dan Allah di hatinya. Karenannya hal ini banyak kita melihat fenomena, lebih taat kepada MR nya dari pada perintah pimpinan dan jama’ah, hal ini bukan berarti salah, namun ketaatannya harus memiliki keselarasan yang seimbang dengan ketaatan pada yang lain. Selanjutnya menyebabkan pribadi tersebut larut dengan kepribadian orang yang bergantung kepadanya, yang berakibat mereka tidak mempunyai kemandirian dan efektifitas kerja dalam shaf jama’ah.
Friksi-friksi dalam jama’ah
Tumbuhnya friksi-friksi atau blok-blok dalam jama’ah. Ia berkumpul atas satu rasa hal atau pikiran sama, yang ia merasa sudah memiliki kontribusi bentuk lain, yang tidak perlu untuk berta’at dalam hal lain. Matsal siroh ini, adalah seperti halnya terjatuhnya Sa’labah dalam pikir sudah berkontribusi lewat harta, dan tidak perlu untuk berkontribusi lain. Atau matsal lain adalah Abdullah bin luhay, duri dalam daging, yang mengoyak-ngoyak ukhuwwah, dan kekokohan jama’ah.
Memudarnya tsiqoh dan kefahaman
Tsiqoh adalah ujung tombak akhir pemahaman akhir dari arkanul bai’at, yang didasari awal atas tafahum/ kefahaman. Sehingga setidaknya memiliki sikap tsiqoh ini adalah awal yang baik pula untuk bisa faham, dan dari kefahaman inilah yang akan mengokoh sebuah nilai tsiqoh. Dan dua dasar inilah yang menyebabkan seseorang taat atau pun tidak

Catatatan kaki :
Mu’adz bin jabal adalah cendikiawan muslim yang paling tahu hala dan haram. Mu’adz adalah kaum anshar yang termasuk assabiqunal awwalun, yang ikut Bai’at Aqobah II. Dan Rasulullah saw., bersabda “Umatku yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Mu’az Bin Jabal”
Majalah Al-Hawadts, Lebanon, edisi 865, terbit 8 Juli 1973
Abdul wahhab ‘Azzam, Al Syawarid, 6

Marajji :
Al – qur’an
Khalid Muhammad Khalid (2007), 60 Siroh Sahabat Rasulullah saw, Al-I’Tishom, Jakarta
Majmu ‘ah Rasail Al –Imam Assyahid Hasan Al banna, Risalah Ta’lim, hal. 16
Muhammad Ahmad Ar Rasyid (2002), Hambatan-hambatan Dakwah, Robbani Pers, Jakarta
Parman Hanif M.Pd (2006), Teladan Tarbiyah Dalam Bingkai Arkanul Bai’ah, Auliya Press, Solo
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Al-Baqaroh : 226
Syaikh Mushthafa Masyhur (2000), Fiqh Dakwah Jilid I, Al-I’Tishom, Jakarta

The Beauty of Mahakam River


Oleh: Naylis El Farihah

Dengan note ini, diri ini sekaligus memohon maaf karena telah telat sekali memenuhi ‘janji’ kepada seorang sahabat untuk menceritakan pengalaman mengunjungi pulau terbesar ketiga di dunia ini. Ya... pulau ini berada dalam wilayah negara tercinta kita Indonesia. Pulau Borneo dengan segala pesona keindahan alamnya yang sayang sekali jika dilewatkan begitu saja oleh para pelancongnya.
                  Ramadhan tiga tahun yang lalu, aku diberi kesempatan oleh Allah untuk mengunjungi pulau kalimantan ini, tepatnya ke Kalimantan Timur dan memang propinsi ini dilewati oleh sungai terpanjang ke dua di Indonesia, yang tak lain adalah sungai Mahakam.
          Sesungguhnya memang sulit menggambarkan pesona keindahan sungai mahakam apalagi diriku ini hanyalah seorang mahasiswi biasa yang belum mahir merangkai kata menjadi ungkapan kalimat penuh sastra yang indah untuk dinikmati para pecinta sastra tentunya. Namun tak ada salahnya untuk mencobanya disini, bukankah jika kita tidak mencobanya sama sekali adalah bukti bahwa kita seorang pecundang??
       Sungai Mahakam.... Pertama kali aq mengunjunginya di suatu sore entah tanggal berapa, aq lupa yang jelas saat itu bulan ramadhan 1430 H atau bulan september 2009 M. Sore itu kami (aku, kakakku dan akak iparku) memang dalam perjalanan dari Balikpapan menuju kediaman mereka di Samarinda Seberang. Perjalanan yang cukup melelahkan rasanya terbayar ketika melihat keindahan sungai mahakam di sore hari, memang ketika itu lampu-lampu di sepangang jembatan belum menyala jadi sepertinya aku belum puas untuk menikmatinya. Oh ya yang tak kalah menariknya, di dekat Sungai Mahakam berdiri sebuah masjid nan megah bernama Masjid Islamic Center Samarinda dan memang baru ku tahu bahwa masjid tersebut adalah  masjid termegah dan terbesar kedua di Asia Tenggara... ya walaupun sampai saat ini aku belum menapakkan kakiku di masjid itu, namun aku yakin, suatu saat kesempatan itu akan datang kembali,,,, heheh
     ***
      Malam itu, selepas shalat tarawih, A Vidy (sang kakak ipar) mengajakku dan kakak ku jalan-jalan ke Samarinda sembari membeli beberapa perabotan rumah tangga untuk mengisi rumah barunya . Sontak aq senang sekali, karena memang aku lebih suka menikmati keindahan kota dimalam hari karena beberapa alasan, yang pertama tidak panas karena terhindar dari sengatan matahari siang dan yang kedua suasana kota terasa lebih indah di malam hari dengan segala kemilau pencahayaan dari setiap bangunannya,
              Sungai Mahakam pun seperti itu tampak lebih indah jika kita mengunjunginya di malam hari, balutan gemerlap lampu kota juga lampu di sepanjang jembatan menjadikan sungai ini semakin mempesona siapapun yang memandangnya.
                Pantulan cahaya lampu di sepanjang jembatan terbias di permukaan sungai sehingga sungai tampak seperti cermin yang berkilau. Jembatan ini juga menjadi salah satu kebanggan warga Samarinda karena memang jembatan dan sungainya begitu indah dan mempesona. Juga konon katanya jika kita meminum air sungai Mahakam maka kita akan berkesempatan kembali mengunjungi sungai nan indah ini. Hmn.... mungkin itu hanya mitos, jadi aku pun tak melakukannya, tapi jika Allah kembali mengijinkanku, maka Insya Allah aku pun akan kembali mengunjungi sungai sejuta pesona ini.
        Namun, lagi lagi ada hal yang patut disayangkan, aku tak sempat mengabadikan perjalanan ini... tapi tak mengapa, kenangan itu akan ku rekam dengan baik dalam ingatan, juga ku tulisan di blog ini, agar aku bisa terus mengenangnya selamnya....
        Ini Ceritaku... Mana Ceritamu???

Untuk Guru


Oleh: Tere Liye


Bisa jadi sudah baca tulisan Bang Tere-Liye ini, tapi tak ada salahnya saya repost ulang;
*Dear guru-guru yang kami cintai

Ini surat terbuka utk guru2 kami, guru2 yg amat kami cintai, ijinkanlah saya menyampaikan kerinduan ini;

1. Kami tahu, hari pertama bapak, ibu memutuskan menjadi guru, maka sejak detik itu pula bapak, ibu mengikrarkan diri utk menjadi orang paling kaya hatinya di dunia. Kekayaan yang membuat hati begitu cemerlang. Sungguh, Pak, Ibu, kalianlah salah-satu mercu sua r paling terang benderang di dunia ini, sinar kemuliaan kalian boleh jadi hanya kalah sejengkal dari pemimpin yang adil. Maka berbahagialah dgn kabar bahagia itu, menjadi orang paling kaya hati-nya di dunia--bukan kaya harta duniawi.

2. Kami tahu, hari pertama bapak, ibu memutuskan menjadi guru, maka sejak detik itu pula bapak, ibu menjadi orang paling pemberi. Tidak terhitung memberikan tenaga, waktu, pikiran, semuanya. Maka, berhentilah berharap meminta kembalian. Jangan pernah nodai kesucian itu dgn mengambil sesuatu dari murid-murid. seragam sekolah misalnya, anak2 didik bisa memakai seragam standar yang dijual di pasar loak sekalipun, bukan sebaliknya, menjadikan seragam dan kelengkapan sekolah sbg mata pencahariaan. Buku2, jangan pernah menjadikan buku2 sebagai kewajiban, apalagi buku kegiatan bulan Ramadhan, sesak sekali rasanya mengambil 1000, 2000 per buku, berapalah uangnya. Banyak sekali pembelajar di dunia yg sukses hanya bermodalkan pinjam buku2 itu. Juga studi tour, foto ijasah, pembagian raport, tahun ajaran baru, mulailah hilangkan kebiasaan buruk itu, mulailah kebiasaan baru yang begitu mencengangkan dan mengharukan, mari bahu membahu membantu murid2, memberikan semua kemampuan. Tanyakanlah selalu ke hati nurani paling dalam bapak, ibu, apakah sesuatu itu pantas atau tidak. Apakah bapak, ibu tega menjadikan murid2 sumber nafkah. Kalianlah orang paling pemberi, bukan sebaliknya.

3. Kami tahu, hari pertama bapak, ibu memutuskan menjadi guru, maka sejak detik itu pula bapak, ibu menjadi benteng terdepan akhlak yang baik dan teladan kehidupan. Kami berlari menciumi tangan bapak, ibu. Kami menangis mengenang kebaikan bapak, ibu--meski kalian tdk tahu, karena kami terlalu malu mengakuinya. Sungguh, kami semua tdk akan jadi apapun tanpa kalian. Maka jadilah benteng paling gagah itu. Jangan sungkan, jangan risih, selalu bertanya atas keputusan kepala sekolah, rapat2 komite, koperasi, jika itu tdk sesuai nurani. Selalulah mencari solusi yg baik, selalu semangat. Selalu mengambil inisiatif kebaikan dan kejujuran. Selalu sensitif dan memihak atas golongan yang terpaksa dan tidak mampu. Tentu saja itu termasuk, kalau kami bodoh, jangan pernah putus asa. Kami pintar, ajarkan arti rendah hati dan berbagi. Kalianlah benteng terdepan akhlak yang baik dan teladan kehidupan ini. Ajarkan kami agar berhenti berkeluh-kesah--seperti kalian yg malu berkeluh-kesah di hadapan org banyak. Ajarkan kami rasa sabar atas kejahatan hidup--seperti kalian yg gagah dan selalu sabar utk setiap kesulitan.

Duhai, bapak, ibu guru, bahkan dengan pakaian kusam, wajah redup banyak beban hidup, tubuh ringkih, kalian tetap cemerlang dibanding raja2. Bapak, ibu guru, bahkan dengan kesederhanaan hidup itu semua, kalian menjadi semerbak wangi sebuah siklus kehidupan. Terimakasih banyak. Sungguh terimakasih banyak telah menjadi guru2 yg hebat, keren dan super.

Terima kasih.

Tere Liye
Select Menu